Lanjut ke konten

Petugas Pajak Bukan Para Financiers

Februari 3, 2011
Headline
Jakarta – Kegagahan kadang kala tak berjalan beriringan dengan empati. Jangan pula gampang menganggapnya sejajar dengan isi kepala. Lihat saja kiprah dua sekawan, Pemprov DKI Jakarta dengan mitranya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI.

Dengan alasan gagah, yakni sesuai amanat Undang-Undang 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, DPRD DKI Jakarta dengan gampang menyetujui rencana penerapan pajak restoran sebesar 10% terhadap segala jenis produk tata boga di wilayah Jakarta.

Sekilas tak ada masalah. Mungkin begitu pula di benak sebagian besar anggota DPRD yang terhormat, yang tak jarang kepala dan batin mereka dibetot-betot sekian banyak acara dan kegiatan lain yang lebih menarik dan merangsang minat, dibanding rapat saat itu.

Masalahnya baru terkuak ketika pajak yang rencananya akan diberlakukan per 1 Januari 2011 itu juga menyoal kafetaria dan warung makan sekelas warung tegal (warteg).

Apalagi kemudian tersurat jelas bahwa para pedagang makanan yang terkena aturan pajak itu mereka yang beromset minimal Rp30 juta per tahun, atau dengan hitung-hitungan kasar sekitar Rp82.200 per hari.

Benar bila ada yang berkomentar, pedagang makanan mana yang tak akan terlibas aturan ini? Seolah tarian ‘how low can you go’, tampaknya hanya pengusaha makanan yang merelakan pinggang mereka patahlah yang akan lolos dari jerat serendah ini.

Ingat Rp 82.200 per hari itu omset, bukan keuntungan. Sementara, tanyalah para pedagang bakso, siomay, hingga para penyeduh kopi di taman-taman kota Jakarta tiap malam, berapa besar omset mereka. Rata-rata di atas Rp200 ribu.

Ada hal yang amat patut dipertanyakan kepada Pemda DKI dan DPRD yang begitu antusias mengamini rencana pemungutan pajak warung-warung kecil itu. Meski pajak bukanlah pungutan yang meniscayakan kontraprestasi secara langsung kepada pembayarnya, Pemda DKI tetap memiliki kewajiban moral untuk memberikan kondisi terbaik bagi para pembayar pajaknya.

Dalam kasus warung-warung kecil yang hendak dipajaki itu, sudahkah Pemda DKI memberikan mereka rasa aman dari para ‘penarik pajak ilegal’, para preman yang selama ini memungkinkan mereka berdagang ‘tanpa gangguan’. Rasa aman, lihatlah, betapa jauh dari kehidupan pemilik warung kecil yang telah lama hidup susah didera banyak masalah itu.

Bila kondisi itu belum terwujud, bahkan tak terlihat akan segera diwujudkan oleh Pemda DKI, tak begitu salah bila pungutan semacam itu merujuk adagium James Otis, dekat-dekat dengan cara para tiran mengkolek uang.

Tentu saja bukan itu yang hendak ditegakkan di negeri ini. Pajak, meski selalu mengandung unsur paksaan, tetaplah harus diupayakan bisa dibayarkan dengan sukarela oleh warga yang berkewajiban membayarnya.

Lebih jauh, pajak adalah bukti kecintaan warga akan Tanah Air dan bila itu pajak daerah, pada daerah yang selama ini menjadi tempat mereka menjejakkan kaki dan hidup.

Aturan pajak yang ingin ditegakkan tentu sebagaimana moyang Kapitalisme, Adam Smith, jelaskan dalam asas pemungutan pajak yang dinamainya the four maxims. Pondasinya, pada keyakinan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuan pembayar pajak.

Masih terngiang ucapan Darmin Nasution saat beliau menjabat Dirjen Pajak. Filosofi pajak, kata Darmin, bukanlah untuk membangkrutkan orang. Pada kasus rencana pungutan pajak pada kepada warung-warung kecil, filosofi dasar itu jelas dilanggar total.

Setelah membuncahnya keberatan, rencana itu ditunda. Tetapi bila pada saatnya para pengelola warung-warung kecil, yang dimiliki dan dilanggani orang-orang kecil itu, tetap dipajaki, di mata banyak orang, petugas pajak akan menjadi para financiers, penarik pajak pada masa pra revolusi Prancis.

Mereka hanya menarik pajak, memaksa dan membuta mata akan kondisi nelangsa warga yang mereka bebani. Bagaimana akhir dari sejarah para financiers ini? Pada saat revolusi meletus, para pemungut pajak itu menjadi golongan awal yang dideretkan di bawah pisau guillotine.

Jean Paul Marat, salah seorang pemimpin revolusi berdarah itu berteriak, “Gemetarlah kalian yang telah mengisap darah orang-orang miskin yang malang”. Petugas pajak kita tentu bukan financiers. Semoga. [mdr]

sumber : Inilah.com

From → Indonesian News

Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar